Aku memang tak pernah mungkin akan memilikimu,
Sebesar apapun usaha yang kulakukan.
Aku memang tak pernah mungkin bisa mencumbumu,
Sebesar rasa inginku padamu.
Memandangimu dari jauh,
Hanya itu yang mampu aku lakukan,
Untuk menghela rindu.
Membayangkanmu,
berharap kau juga punya rasa yang sama.
Bercerita dan berdoa tiap malam pada Tuhan,
Amat sering kulakukan.
Kamu,
Telah mampu mencuri hatiku.
Meski kamu tak tahu,
Ini...rasaku dalam diam.
~puisi rasa.
Secangkir Hot Chocolate dan Sepotong Blackforest
Kupandangi
cangkir hot chocolate dan sepotong blackforest. Masih jelas kuingat
kenangan malam Natal lalu, saat kami berdua
melewatkan misa malam Natal di gereja St.
Fransiskus Xaverius, Kuta, Bali. Pria pujaanku
itu menyiratkan mau membawa hubungan kami ke tahap yang lebih serius.
Tadi, aku
melamun sendiri sambil membayangkan dia kembali. Baru saja kumohon pada Tuhan,
akhirnya dia datang. Dengan cara yang membuatku lemas. Berlutut dan mencium
lembut punggung tangan kananku. “Jangan marah ya. Maafkan aku karena terlalu
lama membuatmu menunggu. Menikahlah denganku Clara Anggi Sekarwangi,” katanya.
***
Kurasa, aku termasuk
wanita yang paling beruntung di dunia karena mendapatkan Willibrodus Bintang
Gemilang. Kami berdua satu paroki namun berlainan wilayah. Aku masuk dalam
wilayah XII, sedangkan dia masuk dalam nomor wilayah paling kecil dalam paroki
kami, yaitu wilayah I. Pria berlesung pipi yang akrab disapa Willy itu, pemilik
jenis suara bass dalam paduan suara Servantis
yang menjadi idola banyak wanita karena ketampanan dan kecemerlangan otaknya.
Meski tak berasal dari keluarga kaya raya, aku percaya, banyak wanita yang mau
jadi pacarnya karena yakin Willy dapat menjanjikan sebuah masa depan yang
cerah. Hal itu terbukti dari, diusianya yang masih 28 tahun, dia sudah mampu
menjadi seorang asisten manajer sebuah perusahaan kontraktor ternama.
Namun aku tak seperti
itu. Aku tak begitu kenal siapa sosoknya. Aku hanya mengaguminya karena dia
termasuk Orang Muda Katholik yang aktif, ikut paduan suara dan rajin ke gereja.
Selain itu, lesung pipi dan deretan giginya yang rapi, membuatku jatuh cinta. Maka,
kuputuskan untuk menyukai sosok pria itu. Kupusatkan pikiranku dan terus berdoa
pada Tuhan serta Bunda Maria, semoga ia menjadi pendamping hidupku. Bila
bertemu saat misa, kuberikan senyum termanisku untuknya. Hatiku makin kepincut Willy saat pengakuan dosa dalam
menyambut Natal,
kami berpapasan. Kata ‘Halo’ yang
terlontar dari mulutnya terkesan sangat tulus. Dia memintaku untuk menjabat
tangannya yang hangat.
Suatu malam, aku tersentak kaget. Willy meneleponku. Aku
bergumam dalam hati, lho kok dia bisa
tahu nomor telepon rumahku? Darimana ya?. Dia meminta maaf karena telah
berani meneleponku malam-malam. Oh so sweet-nya
pria pujaanku itu. Meneleponku hanya untuk mengenalkan dirinya saja dan ingin
mengenalku lebih dekat. Tak berselang lama, melodi pesan singkat handphone-ku, -waktu itu Blackberry
belum beredar- berbunyi. Makin lemaslah kakiku saat kulihat isi pesannya dari
nomor yang tak kukenal. Romantis sekali buatku. ‘Selamat istirahat. Maaf mengganggu malam-malam. J -Willy-’.
Malam itu, serasa jadi malam paling indah dalam hidupku. Sepertinya aku tidur berselimutkan
senyum dan mimpiku saat itu adalah menikahinya.
***
Sejarah indah itu dimulai.
Tak kusangka Willy menyimpan rasa yang sama denganku. Kejadian itu bermula saat
aku yang awalnya hanya ingin mengantar Lala, adikku, latihan koor Servantis. Ngomong-ngomong
aku memutuskan untuk tidak mengikuti paduan suara tersebut karena sebagai seorang
jurnalis muda, cukup membuatku kelabakan membagi waktu.
Mungkin saat mobil Toyota
Yaris merahku masuk halaman depan gereja, Willy melihatku dan menunggu momen
yang pas untuk menghampiriku. Benar saja, saat Lala masuk ke dalam gereja.
Nampak seorang pria mengetuk jendela mobilku. Dan dia adalah Willy. Aku gemetar
tapi berusaha untuk tidak terlihat kikuk.
Dengan sopan Willy
mengajakku ngobrol di halaman belakang gereja. Singkat cerita, saat dia
menyatakan suka padaku, rasanya aku ingin berteriak saking girangnya. ‘Oh my God!!’. Sambil menatap kedua
mataku, Willy menjelaskan panjang lebar mengapa dirinya bisa menyukaiku dan
kubiarkan bibir merahnya itu terus bergerak, sementara aku hanya memandangnya
dengan gemas. Maka, dari sekian ratus kata yang terucap, aku hanya mengingat
satu kalimat permintaan yang dengan segera kujawab kata iya. “Well, I’m just an ordinary person. Hmmm,
and I want you to make my days extraordinary. Mau nggak kamu jadi pacarku?”,
tanyanya lembut.
Tentu aku tak berpikir
lama. Saat kubilang kata iya dan kukatakan aku punya rasa yang sama, hembusan
nafas yang seolah berarti lega itu keluar dari mulutnya yang disekitarnya
ditumbuhi kumis dan jenggot tipis khas pria itu.
***
Hari-hari kami bergulir begitu istimewa. Willy bukan tipe orang
yang tak setia, bukan sosok pria yang suka tebar pesona meskipun tampan. Willy
bukan tipe orang yang romantis, tapi sekalinya dia memberiku kejutan, aku tak
dapat berkata-kata apapun. Dia punya senyum yang dapat membuatku luluh dan
keluarga yang hangat yang kurasa, mereka sangat menerimaku sekali. Namun hal
yang paling membuatku dan Willy paling sering bertengkar adalah karena sifat
pelupanya. Bahkan disaat-saat dia mau melamarku menjadi pendamping hidupnya.
***
Satu cangkir hot chocolate dan sepotong slice blackforest. Dua hal tersebut seolah yang menjadi senjata utama
Willy untuk meluluhlantakkan hatiku. Waktu itu, pada perayaan Natal
tahun lalu, lebih tepatnya tiga hari sebelum Natal,
Willy mengajakku terbang ke Bali.
Kami menginap di hotel
yang sama di daerah Kuta, tapi tentu berbeda kamar. Meski bukan agama
mayoritas, tapi terlihat sekali bentuk toleransi yang terpancar dari para warga
Bali. Sedangkan bagi umat Katholik sendiri, Natal adalah sebuah kebahagiaan
dimana Yesus yang diimani menjadi juru selamat bagi seluruh umat manusia.
Perayaan misa malam Natal di gereja St. Fransiskus Xaverius, Kuta, Bali, begitu amat
meriah karena dihadiri lebih dari 4000 umat. Kuberi jempol pada paduan suara
yang bertugas saat itu, karena dapat membuat kami hanyut dalam renungan bahwa
Kristus ialah juru selamat, Sang Sabda Kehidupan. Dekorasi gereja, khususnya
pada bagian Altar terlihat sangat mewah dengan dua buah pohon Natal raksasa yang dihujani hiasan dan
aksesori yang diletakkan di kiri dan kanan Altar. Belum lagi kerlap-kerlip
lampu yang seolah turut bersenandung.
Misa berjalan begitu
istimewa dan aku merasa sangat bahagia. Pada saat Romo memberikan pada kami
kesempatan untuk sejenak berdoa dalam hati, untuk mengutarakan apa yang menjadi
keinginan kami. Tak ragu kupanjatkan dengan cepat permintaanku. “Lamarlah aku,
Wil,” batinku dalam hati. Seketika itu
pula aku melirik ke arahnya. Betapa kulihat Willy sedang khusuk memohon sesuatu
yang tak kuketahui. Matanya terpejam, bibirnya yang mungil terlihat agak
menyunggingkan senyum.
Percaya atau tidak, Tuhan
sepertinya memberiku sedikit kejutan. Ketika lagu Bapa Kami dinyanyikan, tangan
para umat menengadah ke atas. Tanda memohon padaNya. Demikian pula aku dan
Willy, hanya saja satu sisi tangan kami saling bergandengan. Berbeda seperti
biasanya, malam Natal
itu Willy meletakkan tanganku tepat di dadanya dan sesekali mencium punggung
tanganku dengan lembut, seolah meminta restu pada Tuhan. Saat itu, merasa
berbunga-bunga.
Misa selesai. Usai
bersalam-salaman dengan para umat, para Romo, dan tentu menelepon keluarga kami
di Jakarta,
Willy mengajakku ke sebuah café yang baru saja melangkahkan kami masuk ke
dalam, sudah terasa aura romantisnya. Padahal aku belum merasa lapar, tapi
kakiku sepertinya selalu mau mengikuti langkah kakinya yang tegas. Kami menuju
meja yang terdapat tulisan ‘RECEIVED’. Baru saja meletakkan tubuh pada sofa
yang terbuat dari kulit berwarna merah itu, seorang waiter datang dan meletakkan secangkir hot chocolate dan sepotong blackforest
kesukaanku. Saat itu aku seperti merasa ada yang membisikkan di telingaku
kalau Willy hendak memberiku surprise.
Sebelum akhirnya aku dan
Willy benar-benar ‘makan besar’ ditengah nuansa Natal yang kental, kami larut dalam pembicaraan
yang menurutku ‘mengarah’ pada masa depan. Misalnya seperti, ‘Hey, aku sangat berterima kasih pada Tuhan,
karena telah mengirimkanmu buatku’, ‘Nanti,
aku tetap mau kamu yang membuat hari-hariku jauh lebih berwarna’. Atau
sambil mengenggam lembut tanganku dia seolah menyiratkan seolah mau melamarku. ‘Ngomong-ngomong, aku mau malam Natal ini jadi saksi keseriusan
cintaku padamu’. “Ah, pasti Willy
mau melamarku! Aku harus bersikap seanggun mungkin,” aku membatin.
Tapi apa yang kuharapkan
tak terjadi. Willy tidak melamarku saat itu. Aku kesal tapi coba tak
kutunjukkan. Bahkan, hingga kami kembali dalam rutinitas sediakala, di Ibukota.
***
Menjelang tahun baru,
mendadak aku bingung. Biasanya keluargaku juga ‘menggelar’ acara tahun baru-an.
Menurut mereka, tutup tahun, ganti sesuatu yang baru, maka harus ada momen
penyambutan untuknya. Selain itu, meskipun kini usiaku sudah menginjak 26
tahun, aku yang memang berulang tahun tiap tanggal 1 Januari pun menjadi alasan
bagi keluargaku untuk merayakan acara malam tahun baru. Namun, kali ini tidak.
“Sayang, nanti kamu
dandan yang cantik ya. Pakai dress
yang sudah mama belikan ya,” kata mama yang diamini oleh anggukan papaku.
Meskipun sebenarnya aku ingin menolak, akhirnya ku iya-kan saja kemauan mereka.
Berhubungan aku masih kesal dengan Willy dan aku sudah tak mau lagi
mengharap-harap apa kejutan yang akan diberikan olehnya dihari ulang tahunku,
aku sama sekali tak memberinya kabar tentang hal ini padanya.
Kami datang ke sebuah
café yang masih bertuliskan tema Natal
dan Tahun baru. Sesampainya di café bernuansa Maroko itu, kedua orang tuaku, Lala
dan aku digiring ke sebuah ruangan bertuliskan ‘PRIVATE ROOM’. Aku
diperintahkan dengan lembut untuk tak banyak bertanya. Ayah, ibu dan Lala hanya
tersenyum jahil saat aku melontarkan pertanyaan, mengapa harus merayakan ulang
tahun dan perayaan tahun baru di café ini. Ah aku membayangkan seandainya saja
ada Willy. Makin lengkaplah kebahagiaanku.
Saat satu persatu orang
masuk ke dalam ruangan kami, aku mendadak bingung. Aliran darahku mengalir
deras. “Sepertinya aku kenal orang-orang ini,” gumamku dalam hati. Dan, benar
saja tebakanku itu. Saat kedua orang tua Willy datang sambil membawa sesuatu,
bertepatan pula sang penyanyi café itu melantunkan lagu Glen Fredly, Menikahlah Denganku, membuat lututku
lemas.
Aw! Di belakang punggung
orang tuanya, ternyata ada Willy yang ‘mengumpat’. Aduh, kekasih yang telah kupacari
selama empat tahun itu tampan sekali mengenakan kemeja putih yang dtutupi jas
hitam serta dasi merahnya yang senada dengan warna dressku.
Semakin dekat, semakin
terlihat apa yang mereka bawa. Ayahnya, membawakan satu cangkir hot chocolate. Sedangkan sang ibu,
membawakan satu potong blackforest. Sementara
Willy datang dengan senyumnya yang menggoda sambil membawa satu buket bunga
lily.
Mereka datang kearah
mejaku yang terletak di tengah-tengah ruangan. Setelah memberikan satu cangkir hot chocolate dan sepotong blackforest, Serentak semua orang
menyingkir ke pinggir ruangan dan alunan musik pun semakin lama semakin tak
terdengar.
***
Tadi, aku
melamun sendiri sambil membayangkan dia kembali. Baru saja kumohon pada Tuhan,
akhirnya dia datang. Dengan cara yang membuatku lemas. Berlutut dan mencium
lembut punggung tangan kananku. “Jangan marah ya. Maafkan aku karena terlalu
lama membuatmu menunggu. Menikahlah denganku Clara Anggi Sekarwangi,” katanya.
Githa Nila Maharkesri
Yang Pertama..
Setelah lama diam. Setelah lama tak menulis. Setelah lama takut mencurahkan isi kepala karena takut dicela, akhirnya kini berani terbuka. Selamat datang, hai diri sendiri :)
