Rasaku Dalam Diam

0 komentar
Aku memang tak pernah mungkin akan memilikimu,
Sebesar apapun usaha yang kulakukan.

Aku memang tak pernah mungkin bisa mencumbumu,
Sebesar rasa inginku padamu.

Memandangimu dari jauh,
Hanya itu yang mampu aku lakukan,
Untuk menghela rindu.

Membayangkanmu,
berharap kau juga punya rasa yang sama.

Bercerita dan berdoa tiap malam pada Tuhan,
Amat sering kulakukan.

Kamu,
Telah mampu mencuri hatiku.

Meski kamu tak tahu,
Ini...rasaku dalam diam.


~puisi rasa.

Secangkir Hot Chocolate dan Sepotong Blackforest

0 komentar





Kupandangi cangkir hot chocolate dan sepotong blackforest. Masih jelas kuingat kenangan malam Natal lalu, saat kami berdua melewatkan misa malam Natal di gereja St. Fransiskus Xaverius, Kuta, Bali. Pria pujaanku itu menyiratkan mau membawa hubungan kami ke tahap yang lebih serius.

Tadi, aku melamun sendiri sambil membayangkan dia kembali. Baru saja kumohon pada Tuhan, akhirnya dia datang. Dengan cara yang membuatku lemas. Berlutut dan mencium lembut punggung tangan kananku. “Jangan marah ya. Maafkan aku karena terlalu lama membuatmu menunggu. Menikahlah denganku Clara Anggi Sekarwangi,” katanya.

***

Kurasa, aku termasuk wanita yang paling beruntung di dunia karena mendapatkan Willibrodus Bintang Gemilang. Kami berdua satu paroki namun berlainan wilayah. Aku masuk dalam wilayah XII, sedangkan dia masuk dalam nomor wilayah paling kecil dalam paroki kami, yaitu wilayah I. Pria berlesung pipi yang akrab disapa Willy itu, pemilik jenis suara bass dalam paduan suara Servantis yang menjadi idola banyak wanita karena ketampanan dan kecemerlangan otaknya. Meski tak berasal dari keluarga kaya raya, aku percaya, banyak wanita yang mau jadi pacarnya karena yakin Willy dapat menjanjikan sebuah masa depan yang cerah. Hal itu terbukti dari, diusianya yang masih 28 tahun, dia sudah mampu menjadi seorang asisten manajer sebuah perusahaan kontraktor ternama.

Namun aku tak seperti itu. Aku tak begitu kenal siapa sosoknya. Aku hanya mengaguminya karena dia termasuk Orang Muda Katholik yang aktif, ikut paduan suara dan rajin ke gereja. Selain itu, lesung pipi dan deretan giginya yang rapi, membuatku jatuh cinta. Maka, kuputuskan untuk menyukai sosok pria itu. Kupusatkan pikiranku dan terus berdoa pada Tuhan serta Bunda Maria, semoga ia menjadi pendamping hidupku. Bila bertemu saat misa, kuberikan senyum termanisku untuknya. Hatiku makin kepincut Willy saat pengakuan dosa dalam menyambut Natal, kami berpapasan. Kata ‘Halo’ yang terlontar dari mulutnya terkesan sangat tulus. Dia memintaku untuk menjabat tangannya yang hangat.

Suatu malam, aku  tersentak kaget. Willy meneleponku. Aku bergumam dalam hati, lho kok dia bisa tahu nomor telepon rumahku? Darimana ya?. Dia meminta maaf karena telah berani meneleponku malam-malam. Oh so sweet-nya pria pujaanku itu. Meneleponku hanya untuk mengenalkan dirinya saja dan ingin mengenalku lebih dekat. Tak berselang lama, melodi pesan singkat handphone-ku, -waktu itu Blackberry belum beredar- berbunyi. Makin lemaslah kakiku saat kulihat isi pesannya dari nomor yang tak kukenal. Romantis sekali buatku. ‘Selamat istirahat. Maaf mengganggu malam-malam. J -Willy-’. Malam itu, serasa jadi malam paling indah dalam hidupku. Sepertinya aku tidur berselimutkan senyum dan mimpiku saat itu adalah menikahinya.

***

Sejarah indah itu dimulai. Tak kusangka Willy menyimpan rasa yang sama denganku. Kejadian itu bermula saat aku yang awalnya hanya ingin mengantar Lala, adikku, latihan koor Servantis. Ngomong-ngomong aku memutuskan untuk tidak mengikuti paduan suara tersebut karena sebagai seorang jurnalis muda, cukup membuatku kelabakan membagi waktu.

Mungkin saat mobil Toyota Yaris merahku masuk halaman depan gereja, Willy melihatku dan menunggu momen yang pas untuk menghampiriku. Benar saja, saat Lala masuk ke dalam gereja. Nampak seorang pria mengetuk jendela mobilku. Dan dia adalah Willy. Aku gemetar tapi berusaha untuk tidak terlihat kikuk.

Dengan sopan Willy mengajakku ngobrol di halaman belakang gereja. Singkat cerita, saat dia menyatakan suka padaku, rasanya aku ingin berteriak saking girangnya. ‘Oh my God!!’. Sambil menatap kedua mataku, Willy menjelaskan panjang lebar mengapa dirinya bisa menyukaiku dan kubiarkan bibir merahnya itu terus bergerak, sementara aku hanya memandangnya dengan gemas. Maka, dari sekian ratus kata yang terucap, aku hanya mengingat satu kalimat permintaan yang dengan segera kujawab kata iya. “Well, I’m just an ordinary person. Hmmm, and I want you to make my days extraordinary. Mau nggak kamu jadi pacarku?”, tanyanya lembut.

Tentu aku tak berpikir lama. Saat kubilang kata iya dan kukatakan aku punya rasa yang sama, hembusan nafas yang seolah berarti lega itu keluar dari mulutnya yang disekitarnya ditumbuhi kumis dan jenggot tipis khas pria itu.

***

     Hari-hari kami bergulir begitu istimewa. Willy bukan tipe orang yang tak setia, bukan sosok pria yang suka tebar pesona meskipun tampan. Willy bukan tipe orang yang romantis, tapi sekalinya dia memberiku kejutan, aku tak dapat berkata-kata apapun. Dia punya senyum yang dapat membuatku luluh dan keluarga yang hangat yang kurasa, mereka sangat menerimaku sekali. Namun hal yang paling membuatku dan Willy paling sering bertengkar adalah karena sifat pelupanya. Bahkan disaat-saat dia mau melamarku menjadi pendamping hidupnya.

***

Satu cangkir hot chocolate dan sepotong slice blackforest. Dua hal tersebut seolah yang menjadi senjata utama Willy untuk meluluhlantakkan hatiku. Waktu itu, pada perayaan Natal tahun lalu, lebih tepatnya tiga hari sebelum Natal, Willy mengajakku terbang ke Bali.

Kami menginap di hotel yang sama di daerah Kuta, tapi tentu berbeda kamar. Meski bukan agama mayoritas, tapi terlihat sekali bentuk toleransi yang terpancar dari para warga Bali. Sedangkan bagi umat Katholik sendiri, Natal adalah sebuah kebahagiaan dimana Yesus yang diimani menjadi juru selamat bagi seluruh umat manusia.

Perayaan misa malam Natal di gereja St. Fransiskus Xaverius, Kuta, Bali,  begitu amat meriah karena dihadiri lebih dari 4000 umat. Kuberi jempol pada paduan suara yang bertugas saat itu, karena dapat membuat kami hanyut dalam renungan bahwa Kristus ialah juru selamat, Sang Sabda Kehidupan. Dekorasi gereja, khususnya pada bagian Altar terlihat sangat mewah dengan dua buah pohon Natal raksasa yang dihujani hiasan dan aksesori yang diletakkan di kiri dan kanan Altar. Belum lagi kerlap-kerlip lampu yang seolah turut bersenandung.

Misa berjalan begitu istimewa dan aku merasa sangat bahagia. Pada saat Romo memberikan pada kami kesempatan untuk sejenak berdoa dalam hati, untuk mengutarakan apa yang menjadi keinginan kami. Tak ragu kupanjatkan dengan cepat permintaanku. “Lamarlah aku, Wil,” batinku dalam hati.  Seketika itu pula aku melirik ke arahnya. Betapa kulihat Willy sedang khusuk memohon sesuatu yang tak kuketahui. Matanya terpejam, bibirnya yang mungil terlihat agak menyunggingkan senyum.

Percaya atau tidak, Tuhan sepertinya memberiku sedikit kejutan. Ketika lagu Bapa Kami dinyanyikan, tangan para umat menengadah ke atas. Tanda memohon padaNya. Demikian pula aku dan Willy, hanya saja satu sisi tangan kami saling bergandengan. Berbeda seperti biasanya, malam Natal itu Willy meletakkan tanganku tepat di dadanya dan sesekali mencium punggung tanganku dengan lembut, seolah meminta restu pada Tuhan. Saat itu, merasa berbunga-bunga.

Misa selesai. Usai bersalam-salaman dengan para umat, para Romo, dan tentu menelepon keluarga kami di Jakarta, Willy mengajakku ke sebuah café yang baru saja melangkahkan kami masuk ke dalam, sudah terasa aura romantisnya. Padahal aku belum merasa lapar, tapi kakiku sepertinya selalu mau mengikuti langkah kakinya yang tegas. Kami menuju meja yang terdapat tulisan ‘RECEIVED’. Baru saja meletakkan tubuh pada sofa yang terbuat dari kulit berwarna merah itu, seorang waiter datang dan meletakkan secangkir hot chocolate dan sepotong blackforest kesukaanku. Saat itu aku seperti merasa ada yang membisikkan di telingaku kalau Willy hendak memberiku surprise.

Sebelum akhirnya aku dan Willy benar-benar ‘makan besar’ ditengah nuansa Natal yang kental, kami larut dalam pembicaraan yang menurutku ‘mengarah’ pada masa depan. Misalnya seperti, ‘Hey, aku sangat berterima kasih pada Tuhan, karena telah mengirimkanmu buatku’, ‘Nanti, aku tetap mau kamu yang membuat hari-hariku jauh lebih berwarna’. Atau sambil mengenggam lembut tanganku dia seolah menyiratkan seolah mau melamarku. ‘Ngomong-ngomong, aku mau malam Natal ini jadi saksi keseriusan cintaku padamu’.  “Ah, pasti Willy mau melamarku! Aku harus bersikap seanggun mungkin,”  aku membatin.

Tapi apa yang kuharapkan tak terjadi. Willy tidak melamarku saat itu. Aku kesal tapi coba tak kutunjukkan. Bahkan, hingga kami kembali dalam rutinitas sediakala, di Ibukota.

***
Menjelang tahun baru, mendadak aku bingung. Biasanya keluargaku juga ‘menggelar’ acara tahun baru-an. Menurut mereka, tutup tahun, ganti sesuatu yang baru, maka harus ada momen penyambutan untuknya. Selain itu, meskipun kini usiaku sudah menginjak 26 tahun, aku yang memang berulang tahun tiap tanggal 1 Januari pun menjadi alasan bagi keluargaku untuk merayakan acara malam tahun baru. Namun, kali ini tidak.

“Sayang, nanti kamu dandan yang cantik ya. Pakai dress yang sudah mama belikan ya,” kata mama yang diamini oleh anggukan papaku. Meskipun sebenarnya aku ingin menolak, akhirnya ku iya-kan saja kemauan mereka. Berhubungan aku masih kesal dengan Willy dan aku sudah tak mau lagi mengharap-harap apa kejutan yang akan diberikan olehnya dihari ulang tahunku, aku sama sekali tak memberinya kabar tentang hal ini padanya.

Kami datang ke sebuah café yang masih bertuliskan tema Natal dan Tahun baru. Sesampainya di café bernuansa Maroko itu, kedua orang tuaku, Lala dan aku digiring ke sebuah ruangan bertuliskan ‘PRIVATE ROOM’. Aku diperintahkan dengan lembut untuk tak banyak bertanya. Ayah, ibu dan Lala hanya tersenyum jahil saat aku melontarkan pertanyaan, mengapa harus merayakan ulang tahun dan perayaan tahun baru di café ini. Ah aku membayangkan seandainya saja ada Willy. Makin lengkaplah kebahagiaanku.

Saat satu persatu orang masuk ke dalam ruangan kami, aku mendadak bingung. Aliran darahku mengalir deras. “Sepertinya aku kenal orang-orang ini,” gumamku dalam hati. Dan, benar saja tebakanku itu. Saat kedua orang tua Willy datang sambil membawa sesuatu, bertepatan pula sang penyanyi café itu melantunkan lagu Glen Fredly, Menikahlah Denganku, membuat lututku lemas.

Aw! Di belakang punggung orang tuanya, ternyata ada Willy yang ‘mengumpat’. Aduh, kekasih yang telah kupacari selama empat tahun itu tampan sekali mengenakan kemeja putih yang dtutupi jas hitam serta dasi merahnya yang senada dengan warna dressku.

Semakin dekat, semakin terlihat apa yang mereka bawa. Ayahnya, membawakan satu cangkir hot chocolate. Sedangkan sang ibu, membawakan satu potong blackforest. Sementara Willy datang dengan senyumnya yang menggoda sambil membawa satu buket bunga lily.

Mereka datang kearah mejaku yang terletak di tengah-tengah ruangan. Setelah memberikan satu cangkir hot chocolate dan sepotong blackforest, Serentak semua orang menyingkir ke pinggir ruangan dan alunan musik pun semakin lama semakin tak terdengar.

***

Tadi, aku melamun sendiri sambil membayangkan dia kembali. Baru saja kumohon pada Tuhan, akhirnya dia datang. Dengan cara yang membuatku lemas. Berlutut dan mencium lembut punggung tangan kananku. “Jangan marah ya. Maafkan aku karena terlalu lama membuatmu menunggu. Menikahlah denganku Clara Anggi Sekarwangi,” katanya.

Githa Nila Maharkesri

Yang Pertama..

0 komentar

Setelah lama diam. Setelah lama tak menulis. Setelah lama takut mencurahkan isi kepala karena takut dicela, akhirnya kini berani terbuka. Selamat datang, hai diri sendiri :)

Popular Posts

Githa Nila Maharkesri

..Tenang saja. Sebentar lagi, mimpi itu sampai.. ~GNM
 

VIEWERS


FAVORITES


WANNA TRANSLATE IT?